0 items in your shopping cart

No products in the cart.

Sebuah Ide Beragama

Sebuah ide beragama merupakan ide beragama yang tidak biasa. Untuk itu saya memberikan warning di bawah ini:

Warning: baca pelan-pelan agar tidak gagal paham!

Sebelumnya, saya mohon maaf apabila ada yang tidak berkenan dengan ide ini. Silahkan ‘skip’ saja atau jangan diteruskan untuk dibaca.

Bagi anda yang berpikiran terbuka, silahkan teruskan baca dan kita bisa berdiskusi tentang hal ini nantinya.

Dalam DIALOG AGAMA yang diadakan oleh Soul Journey Indonesia dengan tema APAKAH AGAMA MASIH DIPERLUKAN DI MASA DEPAN, saya mengemukakan bahwa agama (lembaga agama) dan keagamaan (aspek spiritual) adalah dua hal yang berbeda. Manusia dapat menjalani aspek spiritual (keagamaan) tanpa harus terikat dengan lembaga agama (agama). Sehingga pertanyaan: agamamu apa? Sudah tidak relevan lagi untuk dipertanyakan. Ini yang akan menjadi inspirasi lahirnya sebuah ide untuk beragama

Keagamaan bukanlah sistem, namun lembaga agama adalah sistem. Lembaga agama merupakan sistem karena ia harus mengatur, membuat peraturan umatnya dan mengurusi keanggotaan. Untuk itu dia mengikat. Sedangkan keagamaan bukan merupakan sistem karena aspek spiritual tidak mengikat.

Sebuah agama (lembaga agama) tidak akan mengijinkan umatnya untuk melakukan ibadah di rumah ibadah agama lain dengan mengikuti ritual ibadah agama lain. Lembaga agama juga tidak mengijinkan umatnya belajar secara dalam dengan mengikuti ritual agama lain. Apabila itu dilakukan maka umat tersebut dikatakan ‘murtad’ atau sudah keluar dari agama tersebut.

Sedangkan keagamaan (aspek spiritual) dapat melakukan penyelaman ajaran lain, bahkan beribadah di rumah ibadah agama lain dan mengikuti ritual-ritualnya. Ini adalah aspek pribadi, bukan lembaga. Sehingga apabila ada orang yang mengatakan: “Lho saya beragama Islam, buktinya saya tidak apa-apa belajar agama lain, meditasi dan sebaginya dan saya tetap beragama Islam.” – Ya, sebagai aspek pribadi memang tidak apa-apa. Tapi bagaimana aspek lembaga? Coba tanyakan kepada lembaga agama anda apabila anda beribadah dan mengikuti ritual dan ajaran agama lainnya, apakah lembaga agama mengijinkannya? Tentu saja tidak karena lembaga agama mempunyai aturan dan batasan siapa saja yang akan disebut murtad dari agamanya.

Aspek spiritual (keagamaan) tidak mempunyai sistem, karena di dalamnya adalah sharing pemahaman. Tidak ada tujuan yang akan dicapai dalam aspek spiritual. Apabila sharing itu bermanfaat ya akan diamalkan. Apabila tidak ya akan ditinggalkan. Tidak ada penyeragaman dalam hal apapun, termasuk ritual atau ibadah. Sedangkan aspek lembaga (agama) akan ada penyeragaman sebagai identitas lembaga dan hal ini sangat rawan sekali dipolitisasi untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok, kekuasaan dan politik.

Sebuah Ide Beragama.

Ide ini adalah menghilangkan sekat lembaga (agama). Di mana agama tidak lagi menjadi identitas yang ditonjolkan dan ia menjadi ruang private yang sangat pribadi sekali (keagamaan). Apabila sekat ini hilang maka lembaga tidak mengatur lagi tentang penyeragaman atau menuntut harus seragam. Lembaga tidak lagi menghitung banyaknya pemeluk agama lembaga tersebut. Kemudian tidak akan ada lagi mayoritas dan minoritas karena tidak ada lagi jumlah dalam lembaga agama masing-masing.

Lembaga agama dapat dibiarkan ada sebagai lembaga yang selalu ‘open house’, bukan lembaga agama yang mengatur dengan sistem agamanya. Apa yang dimaksud dengan selalu open house?

Contohnya di Indonesia ada Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Maka masing-masing agama tersebut membuka ruangnya lebar-lebar sehingga setiap orang dapat memilih untuk belajar dan menyelami serta melakukan ritual di dalamnya tanpa harus diinisiasi atau dibaiat atau dinyatakan resmi mengikuti agama tersebut.

Seseorang dalam seminggu ini mengikuti dan menyelami Islam di masjid. Minggu depannya ia ikut kebaktian di Geraja, minggu depannya lagi di pura dan sebaginya. Lalu kalau ada orang yang sedang merasa nyaman menyelami agama tertentu dengan segala ibadahnya selama bertahun-tahun, ya silahkan, tidak apa-apa. Namun tetap tidak diakui sebagai pengikut lembaga agama itu dan bukan dicacat sebagai umat agama tersebut.

Dalam bidang pendidikan pun demikian. Satu sekolah akan mempunyai banyak mata pelajaran agama dan siswanya dapat memilih akan ikut mata pelajaran agama apa.  Siswanya ikut mata pelajaran agama atas dasar minatnya sendiri, bukan atas dasar paksaan lembaga agama.

Dengan demikian, maka lembaga agama yang sudah meruntuhkan sekat lembaganya, tidak lagi berhitung akan jumlah umat dan tidak lagi menganggap ada yang mayoritas dan minoritas. Mereka akan fokus kepada aspek spiritual (keagamaan) yaitu budi pekerti mulia. Nantinya, mereka yang memilih untuk menyelami akan menilai sendiri mana ajaran yang nyaman dan yang tidak.

Lembaga agama yang sudah runtuh sekat lembaganya tidak lagi bisa digunakan sebagai alat politik untuk menggerakkan masa, karena memang sudah tidak mempunyai masa. Secara formal lembaga agama (agama) sudah tidak ada, sudah tidak diperlukan lagi. Ia diperlukan hanya sebagai alat ‘open house’ sehingga manusia menyadari bahwa yang ia perlukan adalah belajar keagamaan (aspek spiritual) dan bukan ikut terdaftar dalam sebuah lembaga seperti sekarang ini.

Sampai di titik ini, tidak ada lagi kolom agama di KTP, tidak ada lagi pertanyaan dalam interview kerja tentang agamanya dan tidak ada lagi pertanyaan ‘apa agamamu’ dalam sebuah percakapan. Ya, karena agama (sebagai lembaga dan identitas) sudah tidak diperlukan. Manusia mulai memasuki ruang-ruang pribadi aspek keagamaan sesuai kebutuhannya. Dan manusia dapat memasuki ruang-ruang manapun dan rumah ibadah manapun yang ia butuhkan itu lewat gerai-gerai open house agama yang sudah tidak menjadi lembaga. Manusia akan dapat menggetarkan hatinya dengan lantunan Al-fatihah, juga dengan doa Bapa Kami, juga dengan Mantra Gayatri, juga dengan Mantra Paritta Tisarana atau prasetyanya Konghucu.

Beranikah lembaga agama meruntuhkan sekat lembaganya dan membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun untuk menyelami tanpa harus diinisiasi/dibaiat dan diwartakan telah menjadi pemeluk agama tersebut? Mungkin belum selama lembaga agama masih menjadi alat politik kekuasaan.

Terimakasih sudah membaca sebuah ide beragama

Leave a response