Hidup Dalam Mimpi

Manusia sedang hidup di dalam dunia impian, tepatnya impian dari ego. Ada Ambisi, Kekuatan, Gengsi, Pencapaian termasuk keinginan dan harapan. Sebuah pembenaran ego yang sangat tipis adalah kalimat: “menjadi lebih baik dari hari kemarin”

‘Menjadi lebih baik’ kemudian menjadi sebuah tujuan dari pencapaian. Gaji sepuluh juta, ingin jadi dua puluh juta, ingin lagi jadi tiga puluh juta, lima puluh juta, seratus juta ….

Tadinya memakai mobil tahun 90an, lalu ingin tahun 2000an, lalu ingin mobil terbaru. Sudah punya mobil terbaru lalu ingin tambah mobil dari satu, dua bahkan tiga mobil.

Impian dari ego menyelinap masuk ke dalam kata ‘keinginan’ dan ‘harapan’.

Namun Harapan yang dibangun dengan terpaksa dihidupkan terus bukan untuk membuat manusia makin damai, namun sengaja untuk membuat manusia tetap tinggal dalam masa-masa kegelapan (the dark age). Karena mereka (para pembangun harapan) sangat memahami bahwa ketika manusia masih menyimpan harapan, maka manusia akan sangat mudah sekali diatur dan diarahkan. Harapan memenjarakan manusia!

Lebih ironis lagi adalah bahwa harapan menimbulkan persaingan. Menjadi lebih baik, menjadi lebih kaya, menjadi lebih banyak uang, menjadi lebih sukses. Mengapa hal ini terjadi? Karena Harapan akan melahirkan keinginan.

Ingin kaya? Makah berharaplah kepada Tuhan dengan cara sedekah! Ingin berlimpah maka berharaplah kepada Tuhan dengan cara bersyukur! Ingin tambah apa yang dimiliki maka berharaplah kepada Tuhan dengan cara Ikhlas!

Kalimat di atas merupakan tindakan persaingan yang timbul karena harapan dengan pembenaran dari kalimat Sedekah, Ikhlas dan Syukur.

Mengapa manusia bersaing ingin cepat mendapatkan rejeki dengan cara sedekah?

Mengapa manusia bersaing ingin cepat mendapatkan keberlimpahan dengan cara syukur?

Mengapa manusia bersaing ingin cepat menerima lebih dengan cara Ikhlas?

Bila Tuhan memang mengajarkan percepatan rejeki dapat didatangkan dengan cara sedekah, maka orang kaya akan tambah semakin kaya, dan orang miskin tidak akan pernah mengejar orang kaya. Mengapa? Karena bagi orang kaya, memberikan sesuatu sebagai bentuk sedekah akan lebih besar dan menurut hal diatas, maka ia akan dilipat gandakan lebih besar dari pemberiannya semula.

Dunia bagi mimpi sang ego, menjadi hal yang tidak sadar dilakukan oleh manusia. Manusia yang satu bersaing dari manusia lainnya untuk sekedar memenuhi kepentingan egonya. Coba Anda liat apa yang akan Anda capai dengan: Money Magnet, Keberlimpahan, Abundance, Ikhlas, Sedekah? Bukankah semua itu adalah keinginan Anda mencapai sesuatu yang lebih dari orang lain?

Lalu Anda belajar untuk menyelami rahasia kehidupan, yaitu agar kehidupan dapat Anda atur sesuka Anda dengan pikiran dan perasaan Anda. Menerapkan hukum ‘law of attraction’ untuk menarik hal-hal yang menguntungkan Anda, dari uang, materi, keberlimpahan rejeki. Lambat laun, yang tadinya harapan untuk menjadi hidup lebih baik, tumbuh jadi keinginan lebih baik lagi dan akhirnya lahir sebagai ambisi lebih baik dari semua yang ada.

Banyak yang melakukan pembenaran dengan dalil yang terlihat ‘agamis’ yaitu Sedekah, Ikhlas dan Syukur. Kemudian kalau berani jujur dan mengakui terhadap diri sendiri, maka pertanyaannya adalah:

Untuk apa sedekah? Jawabannya adalah untuk mempercepat rejeki.

Untuk apa Ikhlas? Jawabannya adalah agar semakin ditambah hal yang sudah diikhlaskan.

Untuk apa Syukur? Jawabannya adalah agar semakin ditambah apa yang disyukuri.

Pamrih! Lahir dari harapan. Dan harapan lahir dari keadaan insecure! Keadaan dimana manusia merasa tidak aman, tidak nyaman, merasa terancam, maka akan mudah menerima janji-janji yang dijual sebagai harapan hidup. Kemudian Harapan hidup melahirkan keinginan-keinginan untuk mencapainya.

Apabila akarnya ketemu, yaitu insecure, maka bagaimana cara mengatasinya? Dropped your desire and your hope!

Karena keinginan dan harapan andalah yang menyebabkan Anda merasa terancam dalam  hidup.

Kembali menjadi manusia dengan kehidupan alaminya (fitrahnya) adalah mereka yang hidup harmoni dengan alam semesta, tanpa menarik-narik apa yang diinginkannya. Mereka yang menyadari kebutuhannya tanpa ingin menjadi sangat lebih dengan kekayaannya. Nabi Muhammad menyebutnya sebagai masyarakat Madani, yaitu masyarakat tengah-tengah!

Dan kini, alih-alih menjadi masyarakat Madani, banyak dari kita malah menjadi masyarakat Medeni (bhs Jawa: menakutkan) dengan cara Mudani (menggunakan semua cara). Namun disitulah implementasi nyata pengakuan kita sebagai umat Muhammad diuji, apakah kita ingin memiliki kekayaan yang berlebih, atau kita menyadari bahwa kita cukup dalam kondisi tengah-tengah.

 

Love & Blessing

Write a comment